Selasa, 30 November 2010

HUBUNGAN TINGKAT EKONOMI DAN BUDAYA DENGAN KEPEMILIKAN JAMBAN KELUARGA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Lingkungan yang diharapkan dalam visi Indonesia sehat tahun 2010 adalah lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai (pembuangan sampah, jamban keluarga), perumahan dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dalam memelihara nilai - nilai budaya bangsa. Masalah penyakit yang berbasis lingkungan disebabkan oleh lingkungan yang tidak memadai, baik kualitas maupun kuantitasnya serta perilaku hidup sehat masyarakat yang masih rendah yang merupakan penyebab sepuluh besar penyakit di Puskesmas dan merupakan indikator status kesehatan masyarakat (Burmawi S., 2004).
Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai Rp 470/rupiah/tahun. Versi Bank Pembangunan Asia, perlu    Rp 50 triliun untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang narasumber, hanya 1/214 dari anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selain lemahnya visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost). Padahal, menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian (Sri Hartati, 2008)
Laporan MDGs tahun 2007 mencatat ada beberapa kendala yang menyebabkan masih tingginya jumlah jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Di antaranya adalah cakupan pembangunan yang sangat besar, sebaran penduduk yang tak merata dan beragamnya wilayah Indonesia, keterbatasan sumber pendanaan. Pemerintah selama ini belum menempatkan perbaikan fasilitas sanitasi sebagai prioritas dalam pembangunan (Sri Hartati, 2008)
Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah adanya sarana kesehatan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan antara lain tersedianya jamban keluarga. Untuk meningkatkan cakupan jamban keluarga dan mewujudkan Indonesia Sehat di tahun 2010 diperlukan suatu perencanaan yang matang dan didukung data yang lengkap dan akurat. Untuk memperoleh gambaran cakupan jamban di masyarakat maka dirasakan perlu teknik pengumpulan data yang dapat menggambarkan keadaan sehat di masyarakat dan dapat digunakan sebagai penunjang dari sistem informasi yang ada. (Burmawi S., 2004).
Di negara berkembang masih banyak terjadi pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan dibidang kesehatan lingkungan yang kurang dan kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. kondisi tersebut terutama ditemukan pada masyarakat di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan (Chandra B.,2007).
Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah atau menjadi sumber infeksi dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan karena penyakit yang tergolong waterborne disease  akan mudah terjangkit (Chandra B., 2007).
Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Talata Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka pada bulan Oktober 2009, masyarakatnya bermata pencaharian yang umumnya petani dan sisanya pegawai negeri sipil dan wiraswasta. Masyarakatnya merupakan masyarakat yang multicultural yang terdiri dari berbagai macam suku seperti Mekongga, Bugis, Jawa Dan Tana Toraja serta masih banyaknya masyarakat yang buang air besar di tempat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan seperti kebun, sungai dan rawa. Berdasarkan data yang diambil dari Puskesmas Tinondo tentang kepemilikan jamban di Desa Talata terdapat 124 kepala keluarga, yang memiliki jamban keluarga hanya 20 kepala keluarga.(Puskesmas Tinondo, 2009)
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka timbul rumusan masalah sebagai berikut:” Apakah ada hubungan antara tingkat ekonomi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010 ?


C.    Tujuan Penelitian
1.    Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010.
2.    Tujuan khusus
a.    Untuk mengidentifikasi tingkat ekonomi di Desa Talata
b.    Untuk mengidentifikasi budaya di Desa Talata
c.    Untuk menganalisis hubungan tingkat ekonomi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga.
D.    Manfaat Penelitian
1.      Manfaat ilmiah
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmiah atau bahan bacaan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam memahami faktor penyebab kurangnya kepemilikan jamban keluarga.
2.      Manfaat institusi
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi institusi terkait dalam hal penentu kebijakan untuk menangani masalah kepemilikann jamban.
3.      Manfaat bagi peneliti
Penelitian merupakan pengalaman berharga dalam upaya menambah wawasan dan ilmu pegetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan jamban keluarga, disamping sebagai syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar D.III keperawatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.  Tinjauan Umum Tentang Tingkat Ekonomi
1.    Definisi 
Kata ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani oikos yang berarti keluarga, rumah tangga dan nomos, atau peraturan, aturan, hukum, dan secara garis besar diartikan sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga. Ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas.(wikipedia, 2009)
Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai Rp 470/rupiah/tahun. Versi Bank Pembangunan Asia, perlu Rp 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.Dalam APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang narasumber, hanya 1/214 dari anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selain lemahnya visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost).Padahal, menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian ( Sri Hartati, 2008).
Pemerintah Indonesia selama ini selalu memberikan perhatian yang besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan semakin besar lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan 1997. pemerintah secara tegas menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam undang-undang nomor  25 tahun 2000 tentang  program pembangunan nasional (PROPENAS). Target yang ditetapkan pada periode tahun 2000-2004 adalah berkurangnya persentase penduduk miskin, dari 19% pada tahun 1999 menjadi 14% pada tahun 2004. keseriusan pemerintah ini juga terlihat dengan dikeluarkannya keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 124 tahun 2001 pembentukan komite penanggulangan kemiskinan (KPK). Tidak lama setelah itu pada tahun 2002 KPK juga telah menerbitkan dokumen interim strategi penanggulangan kemiskinan (Ritonga, 2008).
2.      Tindakan Ekonomi
Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. Misalnya : Ibu memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat mahal (wikipedia, 2009).
Tindakan ekonomi terdiri dari dua aspek, yaitu (wikipedia, 2009):
a.    Tindakan ekonomi rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya demikian.
b.    Tindakan ekonomi irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya tidak demikian.
3.      Motif Ekonomi
Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi terbagi dalam dua aspek (wikipedia, 2009):
a.         Motif intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tindakan ekonomi atas kemauan sendiri.
b.         Motif ekstrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tindakan ekonomi atas dorongan orang lain.
Pada prakteknya terdapat beberapa macam motif ekonomi:
1)   Motif memenuhi kebutuhan
2)    Motif memperoleh keuntungan
3)    Motif memperoleh penghargaan
4)    Motif memperoleh kekuasaan
5)    Motif sosial atau menolong sesama
4.      Prinsip Ekonomi
Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal (wikipedia, 2009)  
Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.( Chandra B., 2006)
Masalah ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah kemiskinan. kemiskinan adalah kekurangan dan keterbelakangan. di Indonesia batas garis kemiskinan yang ditetapkan badan puasat statistik (BPS), dalam statisitik Indonesia 1999 mengacu pada kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk sandan dan pangan serta kebutuahan mendasar lainnya (Yudistira, 2007).
Kriteria keluarga miskin berdasarkan Jaminan Pendanaan Sosial-Badan Kemiskinan (JPS – BK) adalah :
a.         Keluarga tidak bisa makan dua kali sehari
b.        Keluarga tidak mampu mengobati anak / keluarga yang sakit kepelayanan kesehatan.
c.         Kepala keluarga terkena PHK massal
d.        Pada keluarga terdapat anak  yang drop out karena masalah ekonomi.
  Sistem ekonomi Indonesia mempunyai acuan yang telah diatur dalam undang – undang dasar 1945 yang menentukan demokrasi ekonomi sebagai dasar pelaksana pembangunan ekonomi Indonesia guna kemakmuran masyarakat utamanya bukan kemakmuran individu atau golongan.
Beberapa masalah ekonomi dengan skala prioritas tinggi di Indonesia yaitu : (yudistira, 2007).
a.    Kemiskinan
Menurut BPS tahun 2003 tercatat sekitar 40.000.000 penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan, ada dua macam ukuran kemiskinan yang umum dipergunakan yaitu kemiskianan absolut dan kemiskinan relatif.
b.    Keterbelakangan
Keterbelakangan tampak pada banyak hal seperti tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah daya saing dan kualitas manusia yang rendah, infrastruktur pembangunan, penguasaan tekhnologi dan lain – lain.
c.    Pengangguran
Banyaknya angkatan kerja yang tidak tertampung karena sempitnya lapangan kerja, masalah ini menyangkut infastruktur maupun kualitas kerja.
 Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno dalam Ingga, 2008).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penyebab tingginya jumlah orang miskin di daerah-daerah ini karena perekonomiannya sangat bergantung pada empat bidang utama yang seluruhnya dikuasai oleh pelaku ekonomi yang tidak berbasiskan usaha kecil dan menengah. Keempat bidang utama tersebut adalah perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan perdagangan. Dengan penghasilan pas-pasan, cukup untuk makan saja, mereka sering dijadikan contoh kasus kemiskinan yang melandasi masyarakat terus berusaha mendapat kucuran dana lebih dari pemerintah pusat (Slamet, 2002).
Data kemiskinan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) menekankan delapan indikator penilaian, yaitu: frekuensi makan yang minimal dua kali sehari, konsumsi lauk-pauk yang berprotein, kepemilikan pakaian, aset, luas lantai hunian per kapita minimal delapan meter persegi, jenis lantai, ketersediaan air bersih, dan kepemilikan jamban (Slamet, 2002).
Persoalan ekonomi di Indonesia ini tidak hanya terbatas pada indikator-indikator itu. Keberadaan mereka di daerah-daerah terisolasi sering luput dari sentuhan pembagunan, seperti terjangkitnya diare dan penyakit kulit dari kontaminasi air dan tanah akibat kotoran manusia di sepanjang kawasan pesisir pantai dan sungai (Suburratno dalam Ingga, 2008)
Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara-negara lain yang berpenghasilan kurang lebih sama. Hal ini tampak jelas bahwa negara tergolong miskin keadaan gizinya rendah, pengetahuan tentang kesehatannyapun rendah, sehingga keadaan kesehatan lingkungannya juga buruk dan status kesehatannya buruk pula (Slamet, 2002).
B.  Tinjauan Umum Tentang Budaya (kebiasaan)
Dalam ilmu psikologi, ada istilah yang dikenal dengan teori kebiasaan. Teori ini merupakan hasil irisan antara dorongan/keinginan, dengan keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Artinya, jika cara berpikir dan berperilaku setiap individu sudah melekat menjadi sebuah kebiasaan, maka setidaknya terbangun sudah satu batu bata dalam membangun sebuah peradaban manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia. (Muslih, 2009)
Kebiasaan mempunyai karakteristik utama. Pertama, kebiasaan itu dapat diamati atau observable, bila berupa benda dapat diraba, dan bila berupa kegiatan atau aktivitas dapat dilihat. Kedua, kebiasaan itu bersifat mekanistis atau otomatis. Kebiasaan itu terjadi secara spontan tanpa disadari dan sukar dihilangkan terkecuali kalau lingkungan itu berubah. Perubahan itu mengarah kepada penghilangan stimulus yang membangkitkannya (Tarmizi, 2009).
Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Pemanfaatan jamban keluarga oleh masyarakat belum sesuai dengan harapan, karena masih ada yang buang hajat di tempat-tempat yang tidak sesuai dengan kaidah kesehatan, Misalnya sungai, kebun, atau sawah. Hal ini karena kebiasaan (pola hidup) atau fasilitas yang kurang terpenuhi serta pengetahuan, sikap dan prilaku dari masyarakat itu sendiri maupun kurang informasi yang mendukung terhadap pemanfaatan jamban keluarga (Aryani, 2008).
Kebiasaan masyarakat yang tidak mau menggunakan jamban merupakan faktor utama meluasnya penyakit. Kebiasaan masyarakat yang lebih suka membuang hajat di sembarangan tempat membuat mereka enggan membuat jamban di rumah masing-masing. Rendahnya pendidikan dan kesadaran masyarakat membuat kebiasaan buang air besar di sembarang tempat sulit dihilangkan, karena warga lebih suka membuat WC helicopter dari pada membuat jamban di rumah  akibat ketiadaan biaya untuk membuat septic tank yang mahal (Aryani, 2008).
Ini sangat berkaitan dengan prilaku masyarakat sendiri yang sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat itu sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan bantuan pembangunan jamban di beberapa tempat yang membutuhkannya (Aryani, 2008).
Ketika perilaku masyarakat berubah dalam hal buang air besar maka akan ada dampak ke arah yang lebih baik. Merajuk kepada ketentuan organisasi kesehatan dunia (WHO). Sanitasi yang aman mampu menurunkan resiko diare hingga 36%. Biaya pengobatan pun akan berkurang, hanya perlu komitmen yang kuat dari masyarakat dan pemerintah untuk harus mendorong upaya peningkatan sanitasi          (Aryani, 2008).
Di negara berkembang masih banyak terjadi pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan dibidang kesehatan lingkungan yang kurang dan kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. kondisi tersebut terutama ditemukan pada masyarakat di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan (Chandra B., 2007).

C.  Tinjauan Umum Tentang Jamban Keluarga
1.    Definisi
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya serta mempunyai persyaratan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007):
a.    Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindungi dari panas dan hujan, serangga - serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy) dan sebagainya
b.    Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat tempat terpijak yang kuat.
c.    Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau.
d.   Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.
2.    Macam-macam jamban dan cara pembuatannya
Ada beberapa macam jamban yang sesuai dengan konstruksi dan cara pembuatannya (ada 4 macam) jamban (Notoatmodjo, 2003):
a.    Kakus cemplung
Bentuk kakus ini adalah paling sederhana yang dapat dianjurkan pada masyarakat. Nama ini dipakai bila orang menggunakan kakus jenis ini (membuang kotorannya kekakus semacam ini), maka kotorannya lansung masuk jatuh kedalam tempat penampungan kotoran yang dalam bahasa jawanya Nyemplung.
            Kakus cemplung ini hanya terdiri dari sebuah lubang galian diatasnya diberi lantai dan tempat jongkok, sedang dari tempat jongkok kelubang galian tidak terdapat alat apapun sebagai penyalur maupun penghalang.
Lubang galian terdapat penampungan itu sendiri dapat tanpa diberi pasangan tembok, atau ditembok seluruh bagian dalamnya termasuk dasarnya, sehingga kakus ini bernama kakus cemplung, dapat disebut juga beerput (bila seluruh bagian dalam tempat penampungan itu termasuk dasarnya ditembok), dapat juga disebut zink-put (bila sisi-sisinya saja yang ditembok, sedang dasarnya tidak.
Lantai kakus ini pun dapat dibuat dari bambu atau kayu, tapi dapat juga dari pasangan batu bata atau beton. Agar tidak menjadi sarang dan makanan serangga penyebar penyakit, maka lubang tempat jongkok harus ditutup bila tidak dipakai. Kakus semacam ini masih menimbulkan gangguan karena bau busuknya.
Cara pembuatannya:
1)   Buat sebuah galian yang berukuran 0,8 m x 0,8 x 3 m.
2)   Atau bila berbentuk silinder diameternya 0,8 m x 3 m, buatlah lantai dari bambu atau kayu yang ukurannya disesuaikan dengan leher galian tadi yang selanjutnya dipasang diatasnya. Bila dikehendaki lantai tersebut dari pasangan bata, maka setelah lubang digali langsung dikerjakan pasangan bata.
3)   Buat tutup atau lubang tempat jongkok.
4)   Buat bangunan rumah kakusnya, boleh dari bambu atau kayu serat bilik dan atasnya dari genting, tapi dapat pula dengan pasangan bata. Ini tergantung dari kemampuan orangnya.
b.    Kakus Plengsengan
Plensengan berasal dari bahasa Jawa (mlengseng) berarti miring nama itu dipakai karena dari lubang tempat jongkok ketempat penampungan kotoran dihubungkan oleh suatu saluran yang miring (mlengseng). Jadi tempat jongkok dari kakus ini dibuat/diletakkan persis diatas penampungan, melainkan agak menjauh disampingnya.
Juga kakus ini dapat disebut beerput ataupun zinkput, bila itu memperhatikan konstrusi tempat penampungan kotorannya (lihat kakus cemplung). Kakus semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan dari pada kakus cemplung, karena baunya agak berkurang, dan keamanan bagi pemakai lebih terjamin. Seperti halnya pada kakus cemplung, maka lubang dari tempat jongkok harus dibuatkan tutup.
Cara pembuatannya
Sama seperti kakus cemplung, hanya lantai kakus tidak dibuat diatas tempat penampungan, dan harus memasang saluran yang menghubungkan lubang tempat jongkok dan lubang penampungan kotoran.
Pembuatan kakus cemplung dan kakus plengsengan tidak mengalami kesukaran bila itu diselenggarakan disuatu daerah dimana permuakaan air tanah berada jauh di bawah permukaan tanah, demikian juga daerah yang tidak merupakan daerah banjir diwaktu hujan. Bila penyelenggaraannya berada di daerah yang permukaan air tanahnya dekat sekali dengan permukaan tanah atau yang merupakan daerah banjir diwaktu hujan kita harus selalu selalu ingat bahwa lantai dan tempat jongkok harus ditinggikan dan berada di atas permukaan air setingi waktu banjir. Bagi daerah yang susunan tanahnya mudah runtuh, maka kita tidak hanya membuat gakian biasa untuk tempat penampungan kotoran, tetapi harus mempergunakan selonsong bambu dibagian dalam dari lubang galian itu, atau ditembok sisi-sisinya.
c.    Kakus Bor
Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat dengan mempergunakan bor. Bor yang digunakan adalah bor tangan yang disebut boor aunger dengan diameter antara 30-40 cm. Sudah barang tentu lubang itu harus jauh lebih dalam dibandingkan dengan lubang yang digali seperti pada kakus cemplung atau plengsengan, karena diameter kakus bor ini jauh lebih kecil. Pengeboran pada umumya dilakukan sampai mengena air tanah. Perlengkapan lainnya dan cara mempergunakan, dapat pula diatur seperti pada kakus cemplung dan kakus plengsengan.
d.   Kakus Angsatrine (Water Seal Laterine)
Kakus ini, dibawak tempat jongkoknya ditempatkan atau dipasangkan suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl.
Bowl ini berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada ditempat penampungan tidak tercium baunya, karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang melengkung, dengan demikian juga dapat mencegah hubungan lalat dengan kotoran. Karena dapat mencegah gangguan lalat dan bau, maka memberikan keuntungan untuk dibuat didalam rumah. Agar terjaga kebersihannya, kakus semacam ini harus cukup tersedia air.
Cara pembuatannya
1)   Buat lubang galian dengan ukuran dan cara seperti kakus cemplung.
2)   Buat selongsong atau temboklah sisi-sisi dalam dari lubang galian tersebut bila tanahnya mudah runtuh.
3)   Pasang slab yang sudah jadi.
4)   Buat rumah kakusnya atau pasanglah rumah kakusnya bila telah dipersiapkan secara tersendiri.
5)   Kapur rumah kakus tersebut terutama bagian dalam.
e.    Jamban septic tank (Anonim, 2009)
Jamban ini sama dengan jamban sistem resapan. Perbedaanya terletak pada jumlah septik tank dan cara pembuangannya. Jumlah septik tank ganda mempunyai dua atau lebih lubang penampung kotoran. Cara pemakaian dilakukan bergilir setelah salah satu bak penampung terisi penuh. Bak penampung yang telah penuh ditutup dan didiamkan beberapa lama supaya kotoran dapat dijadikan kompos atau pupuk. Saluran pembuangan dapat dipindahkan dengan menutup/membuka lubang saluran yang dikehendaki pada bak pengontrol. Ukuran lubang dan bangunan jamban tergantung pada kebutuhan dan persediaan lahan. Kotoran yang telah berubah menjadi kompos dapat diambil dan dimanfaatkan sebagai pupuk. Bak penampung yang telah dikosongkan dapat dimanfaatkan kembali (Anonim, 2009).

Cara Pembuatannya
1.        Pilih satu model bak penampung
2.        Tentukan jarak dari sumber air menurut kondisi tanah
3.        Bangunlah konstruksi
4.        Isilah sekeliling bak dengan bahan porous (kerikil, ijuk, batu,dll)
5.        Buat penutup bak dan letakkan di atas bak.
6.        Jamban siap dipakai, apabila sudah penuh arah pembuangan kotoran diubah melalui bak kontrol.
7.        Kotoran yang sudah menjadi kompos dimanfaatkan menjadi pupuk.
3.    Faktor-faktor dalam metode pembuangan tinja
Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam metode pembuangan tinja antara lain faktor non teknis (Notoatmodjo, 2003).
a.    Faktor teknis meliputi:
1)     Faktor dekomposisi ekskreta manusia
Fenomena terjadinya dekomposisi ekskreta manusia memegang peranan yang amat penting dalam perencanaan sistem sarana pembuangan tinja. Banyak sarana pembuangan tinja direncanakan kapasitas serta prinsip kerjanya dengan mendasarkan pada fenomena ini. Dekomposisi ekskreta yang merupakan proses dan berlansung secara alamiah ini melaksanakan 3 aktivitas utama :
a)    Pemecahan senyawa-senyawa organik kompleks seperti protein dan urea kedalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan stabil.
b)   Pengukuran volume dan massa (kadang-kadang sampai mencapai 80%) bahkan yang mengalami dekomposisi dengan menghasilkan gas-gas seperti methan, carbon dioxide, ammonia, dan nitrogen yang dibebaskan ke atmosfir dan dengan menghasilkan bahan-bahan yang terlarut yang dalam keadaan tertentu meresap masuk dalam tanah.
c)    Penghancuran organisme pathogen yang dalam beberapa hal tidak bertahan hidup dalam proses-proses dekomposisi atau terhadap serangan kehidupan biologik yang sangat banyak terdapat dalam massa yang mengalami dekomposisi. Bakteri memainkan peranan utama dalam dekomposisi dan aktivitas bakteri baik aerobik maupun anaerobik melangsungkan proses dekomposisi ini.
2)   Faktor kuantitas tinja manusia
Kuantitas kotoran manusia yang dihasilkan dipengaruhi oleh kondisi setempat, bukan hanya faktor physiologis, tetapi juga faktor-faktor budaya dan agama. Apabila di suatu daerah tidak tersedia data hasil penelitian setempat maka keperluan perencanaan dapat digunakan angka total produksi ekskreta 1 kg (berat bersih) per orang/hari.
3)   Faktor pencemaran tanah dan air tanah
Pada pencemaran tanah dan air tanah oleh ekskreta merupakan informasi penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan sarana pembuangan tinja, khususnya dalam perencanaan lokasi kaitannya dengan sumber-sumber air minum yang ada. Jarak perpindahan bakteri dalam tanah dipengaruhi berbagai faktor, salah satu faktor penting adalah faktor parositas tanah. Perpindahan bakteri air tanah biasanya mencapai jarak kurang dari 90 cm, dan secara vertikal kebawah kurang dari 3 m pada lubang yang terbuka terhadap hujan lebat dan tidak lebih dari 60 cm biasanya pada tanah yang poreus.
4)   Faktor penempatan sarana air tinja
Tidak ada aturan yang pasti untuk menentukan jarak yang aman antara jamban dan air minum, sebab hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kemiringan dan ketinggian air tanah serta permeabilitas tanah.
5)   Faktor perkembangbiakan lalat pada ekskreta
Perlu dihindarkan atau dicegah terjadinya perkembang biakan lalat pada tinja dalam lubang jamban. Kondisi lubang jamban yang gelap dan tertutup sebenarnya sudah dapat mencegah perkembangbiakan lalat ini, baik karena kerapatannya maupun karena sifat lalat yang phototropisme positif (tertarik pada sinar dan menjauhi kegelapan atau permukaan yang gelap).
6)   Faktor tutup lubang jamban
Harus diupayakan adanya tutup lubang jamban yang dapat mendorong pemakai jamban untuk memfungsikan sebagaimana mestinya. Dalam konstruksi yang sederhana mungkin hingga pemakai tidak terlalu sulit untuk menggunakannya.
7)   Faktor tekhnis engineering
Dalam perencanaan dan pembangunan sarana pembuangan tinja agar diupayakan:
a)    Penerapan pengetahuan tekhnik engineering, misalnya dalam melakukan pemilihan tipe instalasi sesuai dengan kondisi lapisan tanah yang ada.
b)   Pengguanaan bahan bangunan yang ada setempat untuk dapat melakukan penghematan biaya secara berarti, misalnya penggunaan bambu untuk penahan runtuhnya dinding lubang, untuk tulang penguat slab dan sebagainya.
c)    Pemilihan dan penentuan desain bangunan instalasi yang dapat ditangani oleh pekerja setempat, juga tenaga terampil yang ada perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin.
b.    Faktor non teknis:
1)    Faktor manusia
Dalam soal pembuangan tinja, faktor manusia sama pentingnya dengan faktor tekhnis. Orang tidak akan mau menggunakan jamban dari tipe yang tidak disukainya atau yang tidak memberikan privacy yang cukup padanya, atau yang tidak dapat dipelihara kebersihannya. Tahap pertama dalam perencanaan system pembuangan tinja disuatu daerah adalah perbaikan system yang sudah ada. Pengembangan system tersebut selanjutnya harus senantiasa mengupayakan pemberian/penciptaan privacy yang secukupnya bagi calon pemakai. Aplikasi dari pada prinsip ini adalah perlunya dilakukan pemisahan yang jelas antara ruang jamban untuk jenis kelamin yang berbeda, perlunya disediakan jumlah ruang jamban yang cukup sesuai dengan jumlah pemakai. Satu lubang jamban cukup untuk satu keluarga yang terdiri dari 5 atau 6 orang. Jamban umum yang digunakan untuk perkemahan, pasar atau tempat-tempat yang sejenisnya harus disediakan minimal 1 lubang untuk 15 orang dan untuk sekolah 1 lubang jamban untuk 15 orang wanita dan satu lubang + 1 urinoir untuk 25 orang pria.
2)   Faktor biaya
Jenis jamban yang dianjurkan bagi masyarakat dan keluarga harus sederhana, dapat diterima, ekonomis pembangunan, pemeliharaan serta penggantiannya. Faktor biaya ini bersifat relatif, sebab system paling mahal pembuatannya dapat menjadi paling murah untuk perhitungan jangka panjang, mengingat masa penggunaannya yang lebih panjang karena kekuatannya serta paling mudah dan ekonomis dari segi pemeliharaannya. Dalam perencanaan dan pemilihan tipe jamban, biaya tidak boleh dijadikan faktor dominan. Perlu dicarikan jalan tengah berdasarkan pertimbangan yang seksama atas semua unsur yang terkait, yang dapat menciptakan lingkungan yang saniter serta dapat diterima oleh keluarga.
4.    Persyaratan sarana pembuangan tinja yang saniter
Ada tipe jamban dan sarana pembuangan tinja yang akan dipilih untuk dibangun atau diterapkan pada masyarakat harus dapat memenuhi persyratan sebagai berikut: (Ehlers & Steel )
a)       Tidak terjadi kontaminasi pada tanah permukaan
b)       Tidak terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin masuk ke   mata air dan sumur.
c)       Ekskreta tidak dapat dijangkau oleh lalat, ulat, kecoa dan anjing.
d)      Tidak terjadi penanganan ekskreta segar, apabila tidak dapat dihindari, harus ditekan seminimal mungkin.
e)       Harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak sedap.
f)        Metode yang digunakan harus sederhana serta murah dalam pembangunan dan penyelenggaraan.
g)       Dapat diterima oleh masyarakat.
Syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam pembuatan jamban adalah sebagai berikut (Anonim, 2009):
a)    Tidak mengakibatkan pencemaran pada sumber-sumber air minum, dan permukaan tanah yang ada disekitar jamban.
b)   Menghindarkan berkembangbiaknya/tersebarnya cacing tambang pada permukaan tanah.
c)    Tidak memungkinkan berkembang biaknya lalat dan serangga lain.
d)   Menghindarkan atau mencegah timbulnya bau dan pemandangan yang tidak menyedapkan.
e)    Mengusahakan kontruksi yang sederhana, kuat dan murah dan mengusahakan sistem yang dapat digunakan dan diterima masyarakat











BAB III
KERANGKA KONSEP
A.    Dasar pemikiran
Untuk mewujudkan Indonesia sehat faktor lingkungan merupakan faktor penentu karena kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia. Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah adanya sarana kesehatan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan antara lain tersedianya jamban keluarga.
Jamban adalah suatu bangunan kecil sebagai sanitasi dasar yang digunakan sebagai tempat atau wadah pembuangan akhir (tinja) manusia dengan berbagai bentuk dan ukuran yang bertujuan memberi kenyamanan dalam melakukan buang air besar (BAB)  
Pada era globalisasi saat ini dana yang dibutuhkan untuk pembuatan jamban keluarga semakin meningkat, ini berdampak pada masyarakat yang memiliki status ekonomi rendah, karena dengan ketiadaan dan ekonomi kurang, maka keluarga tidak mampu membuat jamban keluarga, sebab pembuatan jamban membutuhkan dana yang relatif besar.
Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat, dimana kebiasaan buang air besar di tempat yang tidak sesuai dengan kaidah – kaidah kesehatan (sungai, kebun, rawa-rawa) yang akhirnya akan menimbulkan dampak penurunan tingkat kesehatan dan memunculkan berbagai jenis penyakit.

B.     Bagan Kerangka Konsep

Kepemilikan Jamban
 
                             

Tingkat Ekonomi
 
 




C.    Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti dalam  penelitian ini adalah
1.                   Variabel Independent (bebas)
                 Variabel independen yaitu tingkat ekonomi dan budaya
2.                   Variabel Dependent (terikat)
Variabel dependen yaitu kepemilikan jamban
D.   Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1.      Tingkat Ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah golongan taraf pendapatan masyarakat di desa Talata yang dihasilkan per bulan.
Kriteria pengukuran tentang tingkat ekonomi merujuk pada skala ordinal  dengan  kriteria objektif:
a.       Tinggi  : jika responden berpenghasilan > 2.500.000/bulan
b.       Sedang : jika responden berpenghasilan 800.000 – 2.500.000/bulan
c.       Rendah : jika responden berpenghasilan < 800.000/bulan
2.      Budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ruang lingkup yang mencakup prilaku dan adat istiadat yang mempengaruhi kehidupan masyarakat di desa Talata.
Kriteria pengukuran tentang budaya merujuk pada skala ordinal, dengan kriteria objektif:

a.       Baik          : jika responden buang air besar di jamban keluarga
b.     Buruk        : jika responden buang air besar di sembarang tempat
3.      Kepemilikan Jamban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah setiap Kepala Keluarga di desa Talata yang mempunyai  Jamban keluarga.
Kriteria pengukuran tentang kepemilikan jamban merujuk pada skala ordinal, dengan kriteria objektif:
a. Ada             : jika responden menjawab memilki jamban
b. Tidak ada    : jika responden menjawab tidak memiliki jamban
E.     Hipotesis Penelitian
1.      Hipotesis nol (Ho) (1) : tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010
2.      Hipotesis nol (Ho) (2) : tidak ada hubungan antara budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010
3.      Hipotesis alternatif (Ha) (1) : ada hubungan antara tingkat ekonomi dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010.
4.      Hipotesis alternatif (Ha) (2) : ada hubungan antara budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010.




BAB IV
METODE PENELITIAN
A.    Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriktif analitik dengan pendekatan Crossectional yaitu kedua variabel dikumpul secara bersama-sama dan dianalisis untuk mendapatkan hubungan antara tingkat ekonomi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010.
B.     Tempat dan waktu penenlitian
1.      Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Talata
2.      Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari 2010
C.    Populasi dan Sampel
1.      Populasi
          Populasi adalah keseluruhan yang menjadi objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat di Desa Talata Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka sebanyak 124 kepala keluarga .
2.      Sampel  
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah kepala keluarga di Desa Talata dengan menggunakan tehnik total sampling. Dengan Kriteria inklusi :
a.       Bersedia menjadi responden
b.      Kepala keluarga di Desa Talata.
c.       Terdaftar sebagai penduduk tetap
D.    Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar questioner
E.     Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1.      Jenis Data
a)    Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden
b)   Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Puskesmas Tinondo mengenai jumlah kepemilikan jamban.
2.    Cara Pengumpulan Data
Membagi lembar kuesioner kepada responden yang akan dijadikan sampel
F.     Pengolahan Data
Data yang terkumpul diolah dengan bantuan computer dengan metode SPSS 16.0. Pengolahan data meliputi kegiatan :
1.      Coding adalah membuat atau pembuatan kode pada tiap-tiap data yang termasuk kategori yang sama.
2.      Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan
3.      Scoring adalah member skor pada data yang telah dikumpulkan
4.      Tabulating adalah membuat tabel yang berisikan data yang telah diberi kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan.
G.    Analisis  Data      
Setelah seluruh data yang diperoleh telah kuat maka diadakan proses analisis data dengan Analisa bivariat yaitu menganalisa data mengenai hubungan antara tingkat ekonomi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di desa Talata kecamatan Tinondo kabupaten Kolaka Tahun 2010, dengan bantuan komputer, menggunakan rumus korelasi spearman rank, pada taraf signifikasi 0,05 atau 5%, sedangkan derajat kebebasan pada tabel adaah (b-1) (k-1) dimana b adalah baris dan k adalah kolom (Sugiono, 2008: 304). Adapun rumus yang digunakan yaitu:
∑b¡6                  
n(n²  -  1)           ρ = 1 -             
                                                
Keterangan :
ρ = Koefisien korelasi spearman rank
jika ρ hitung < ρ tabel berarti Ho diterima dan Ha ditolak
jika ρ hitung > ρ tabel berarti Ho ditolak dan Ha diterima
Penolakan Ha berarti tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Talata Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka Tahun 2010. Adapun penolakan H0 ada hubungan antara tingkat ekonomi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Talata Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka Tahun 2010.
H.  Penyajian Data
Hasil penelitian yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dinarasikan.